“Yas, besok kita liputan Hidayat Nur Wahid!”
Mbak Ningsih mengirimkan satu pesan di BBM. Tanpa perlu waktu lama aku segera mengiyakannya. Sudah cukup lama berselang aku tidak ikut liputan.
Dan sekarang, Ustadz Hidayat Nur Wahid. Sosok yang aku mengenalnya sejak dulu. Sosok yang tanpa pernah terduga akhirnya terpilih menggantikan Bang Sani sebagai calon gubernur DKI Jakarta.
“Pada
hari itu DPP memanggil saya. Sesampainya di sana, Ustadz Luthfi
menyerahi saya map berisi mandat kepada saya sebagai calon gubernur DKI
Jakarta.”
Suara Pak Hidayat malam itu di tengah
komunitas para seniman sungguh membuat bulu kudukku berdiri. Ustadz
bersahaja itu. Ustadz yang sudah kuakrapi sosoknya sejak dahulu. Ustadz
yang masih sederhana. Masya Allah… tergidik aku berdiri sendiri sambil
memutar memori berpuluh-puluh minggu yang lalu.
***
Hujan sudah sepenuhnya turun. Halilintar saling menyambar. Hadirin yang datang hari itu masih dilingkupi suasana yang menyesakkan dada. Suara sesegukan menahan air mata terdengar di setiap sudut. Mata-mata itu membekas merah.
Ustadz Hidayat Nur Wahid lalu berdiri entah di mana. Aku tidak dapat melihatnya. Sesaknya manusia yang hadir menempatkan aku di lantai dua gedung sekolah itu. Tapi suara beliau masih terdengar jelas dalam riuhnya hujan. Berat dia berkata.
“Hari ini kita kehilangan sosok yang begitu kita cintai,” ujarnya kemudian tertahan menahan gelegak tangis yang menghujung.
Peristiwa
itu. Wafatnya Ustadz Rahmat Abdullah yang menyesakkan dada. Menjelang
pengantaran jasad beliau, Ustadz Hidayat selaku sahabat almarhum
diberikan kesempatan memberikan sambutan. Berat rasanya mengingat
memori-memori itu. Tapi bermula dari sanalah maka aku mulai kagum dengan
Ustadz Hidayat. Memang waktu itu kekagumanku padanya belum sebegitu
besar sebagaimana aku kagum pada Ustadz Ahmad Heryawan dan Ustadz Rahmat
Abdullah. Tapi pengantar beliau itulah yang akhirnya membuat aku
semakin kagum padanya.
Lalu Idul fitri menjelang. Aku masih tingkat satu di kampusku. Ustadz Hidayat akan menjadi khatib di Apartemen Rasuna tak jauh dari rumahku. Waktu itu Masjid Al-Bakrie belum lagi berdiri. Dan Ustadz Hidayat datang dengan setelan jas berwarna putih. Usai shalat Id, aku menyalami beliau. Dan penuh kehangatan dia merangkul aku dalam pelukan ukhuwahnya. Aku dan kawanku sempat meminta berfoto bersamanya dan dengan ramah beliau melayaninya dengan penuh senyum. Moment itulah yang selanjutnya semakin menambah kekagumanku padanya.
Lalu Idul fitri menjelang. Aku masih tingkat satu di kampusku. Ustadz Hidayat akan menjadi khatib di Apartemen Rasuna tak jauh dari rumahku. Waktu itu Masjid Al-Bakrie belum lagi berdiri. Dan Ustadz Hidayat datang dengan setelan jas berwarna putih. Usai shalat Id, aku menyalami beliau. Dan penuh kehangatan dia merangkul aku dalam pelukan ukhuwahnya. Aku dan kawanku sempat meminta berfoto bersamanya dan dengan ramah beliau melayaninya dengan penuh senyum. Moment itulah yang selanjutnya semakin menambah kekagumanku padanya.
Setelah itu beliau terpilih menjadi Presiden PKS menggantikan Ustadz Nur Mahmudi. Kiprah beliau menahkodai partai ini sungguh luar biasa. Aku semakin cinta dengan partaiku dan kagum dengan beliau. Namun satu yang kurang kusukai dari beliau, pada saat pidato yang terkesan kaku dan datar. Hal ini sempat menjadi bahan pembicaraan hangat di lingkungan mingguan aku. Guru mingguanku pernah berpendapat agar beliau menyewa jasa PR untuk melatih cara bicaranya.
Dan
tahun 2004, Ustadz Hidayat terpilih menjadi ketua MPR dengan perjuangan
yang penuh drama. Aku ingat saat-saat itu ketika tersungkur untuk
bersujud syukur dan tersenyum lebar saat wakil beliau, seorang pengusaha
wanita, ribut minta dicarikan kerudung untuk menutup kepalanya. Lalu
kubaca tulisan Ustadz Nabiel Musawwa tentang beliau yang menimbulkan
rintik-rintik di mataku. Kesederhanaan yang terperangkap dalam sosok
penuh sahaja itu.
Waktu yang terus mengalir tak membuatku berhenti
mengikuti berita tentangnya. Teringat lagi saat kru televisi swasta
yang membatalkan syuting di rumah beliau hanya karena rumahnya yang
sempit dan tidak muat dengan kamera-kamera besar kru itu. Kepergian
istri beliau karena sakit sampai akhirnya beliau dijodohkan dengan Ibu
Diana yang akhirnya menjadi istri beliau sekarang. Aktivitas beliau juga
sungguh luar biasa. Beliau tak segan menggotong-gotong mayat korban
tsunami di Aceh. Pernah aku juga melihat beliau membersihkan lumpur
banjir di suatu daerah Jakarta.
Banyak perubahan yang terjadi.
Gaya bicara dan retorika beliau yang sudah tidak lagi membosankan.
Beberapa humor terkadang menyelip dalam pembicaraan beliau. Namun
kesederhanaan itu masih saja melekat di dirinya. Membuat aku menatap
haru akan seorang pejabat negara yang begitu sederhana dan bersahaja.
Ketika banyak teman yang kecewa pada para qiyadah kami, sungguh rasanya
malu bila melihat kesederhanaan yang beliau tunjukkan. Dan kekaguman itu
semakin membesar saja padanya.
***
Liputan pertamaku setelah Ustadz Hidayat resmi menjadi calon gubernur Jakarta adalah saat diajak Bang Irfan ke Kali Krukut.
Liputan pertamaku setelah Ustadz Hidayat resmi menjadi calon gubernur Jakarta adalah saat diajak Bang Irfan ke Kali Krukut.
Dia
yang datang paling pertama. Dengan hanya menggunakan pakaian yang
sederhana, Ustadz Hidayat melayani permintaan wawancara para wartawan
dengan ramah. Tak lama dia menyantap sate ayam dan mempersilakan para
wartawan serta para warga untuk mengambil makanan yang telah dibeli
olehnya. Bukan hanya gerobak sate tapi ada juga gerobak gorengan,
gerobak bubur, gerobak siomay, dan lainnya yang dia datangkan khusus
untuk warga Kali Krukut. Dan aku juga menyaksikan bagaimana dia turun ke
tepian kali lalu berbincang-bincang dengan seorang bapak yang ada di
situ. Tak lupa ia juga memberikan bingkisan untuk bapak itu.
Kali
lain aku mengikuti Ustadz Hidayat keliling Jakarta seharian. Dia
ditemani sang istri, Dokter Diana Abbas Thalib. Dia menyapa para warga
di dengan penuh keramahan. Mengajak seorang Ibu tua berfoto bersamanya,
menggendong seorang anak kecil layaknya anak sendiri, mengajak seorang
pemilik warung bercakap-cakap sambil mendengar keluhan pemilik warung
itu. Dan ketika seorang ibu-ibu tua menarik beliau untuk menyinggahi
rumah seorang mantan bu lurah yang memelihara anak-anak yatim, beliau
dan istri mendengarkan dengan seksama. Kemudian tanpa disangka beliau
berkata, “Ibu, kami mohon maaf hanya bisa menyumbang 10 juta saja,” Subhanallah…mata ibu itu pun berkaca-kaca dan mengucapkan syukur berkali-kali. Lalu
beliau menuju Utara Jakarta.
Membeberkan program untuk para manula,
menjadi imam shalat Zhuhur di sebuah masjid di mana dulu Ustadz Ahmad
Heryawan pernah menjadi khatib di sana tak lama kemudian berhasil
menjadi gubernur Jawa Barat. Makan bersama para manula tanpa ada
keistimewaan khusus. Ke Barat Jakarta menjajal bajaj berdua sang istri
dan saat Didik J. Rachbini datang bergabung dengan beliau, Ustadz
Hidayat langsung memeluknya erat. Lalu bagaimana dia membesarkan hati
ibu-ibu dengan program kesehatannya. Hingga ketika seorang ibu meragui
apa yang dijanjikannya, sang istri memberikan opininya,
“Bapak
orang yang sukar sekali untuk berjanji bila tak mungkin bisa ditepati.
Jadi saya bisa memastikan apa yang diucapkannya hari ini bukanlah janji
yang tidak akan dia tepati.”
Ya Allah… aku
menyaksikan segala aktivitasnya yang tanpa sedikit pun beliau memerlukan
penjaga-penjaga berbadan kekar. Ustadz Hidayat begitu membaur dengan
masyarakat.
Dan kesederhanaan itu…. masih melekat utuh di
tubuhnya. Menampilkan diri apa adanya dan penuh sahaja. Menyapa ramah
setiap manusia dan mengakrabi mereka tanpa kenal lelah. Ya Allah
ustadz…. tidak ada yang berubah dari kesederhanaan itu.
Hingga
terakhir aku menemuinya, siang di sebuah gelanggang olahraga, dia
menolak dengan halus sebutan sang pembawa acara yang mengadakan bahwa
dia adalah KADER TERBAIK.
“Bukan, saya bukanlah kader
terbaik. Kader terbaik partai adalah Antum semua yang telah berjuang
untuk partai ini. Saya hanya-lah bagian dari Antum semua,” ujarnya
merendah.
Dadaku membuncah mendengar sanggahan logis itu. Terasa berdesakan air mata ingin keluar. Ya Allah…. Ustadz
Hidayat masihlah seperti yang dulu. Ustadz yang masih sederhana. Cara
bicaranya, penampilannya, segalanya… Allah, adakah peluang baginya untuk
memimpin Kota Jakarta? Teringat aku akan ucapan seorang teman.
“Antum semua yang bekerja di bawah tapi yang di atas memperkaya diri sendiri!”
Masya
Allah…apakah dia tidak pernah melihat kesederhanaan itu? Lalu aku
terbayang wajah-wajah ustadzku. Ustadz Hidayat, Ustadz Khoirudin, Ustadz
Abu Ridho, Ustadz Surahman…. rasanya tak mungkin jika mereka memperkaya
diri sendiri…
Rabighfirly Fantal kariimuu! Wa’fu ya rabbii Fantar rahiimuu! Ustadzku masih seperti yang dulu. Ustadz yang masih sederhana.
—
Jakarta, 30 April 2012
22.22 pm with Raef
Beribu harapan yang membuncah untuk beresin Jakarta…
Insya Allah…
0 komentar:
Posting Komentar